DIARE AKUT
PENDAHULUAN
Diare
adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih
dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air
besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut
dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Diare akut adalah diare yang onset
gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik
yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi
maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi.
Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.
Diare akut sampai saat ini masih
merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di
negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa)
dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat.
Di negara maju walaupun sudah terjadi
perbaikan kesehatan dan ekonomi masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap
tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita
diare infeksi setiap tahunnya dan 1 dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek
umum menderita diare infeksi. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh
karena foodborne infections dan waterborne infections yang
disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter jejuni, Stafilococcus
aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan Enterohemorrhagic
Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi
menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak
terserang diare infeksi 7 kali setiap tahunnya di banding di negara berkembang
lainnya mengalami serangan diare 3 kali setiap tahun.
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare
yang disebabkan bakteri yang datang ke rumah sakit dari beberapa provinsi
seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar dan Batam yang
dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti
dengan Shigella spp, Salmonella spp, V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi,
Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan Salmonella paratyphi A.
EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh
dunia. Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar
keluhan pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di
Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama
s/d ke empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.8 Di
negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan di
negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta
diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya.5
WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun
dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.
Bila angka itu diterapkan di
Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa per
tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah kasus
diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada
penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di
Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia
coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan
oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella
flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC).
Beberapa faktor epidemiologis penting
dipandang untuk mendekati pasien diare akut yang disebabkan oleh infeksi.
Makanan atau minuman terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV
positif atau AIDS, merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien
beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12
PATOFISIOLOGI
Diare akut infeksi diklasifikasikan
secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi dan diare
inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon
dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan
darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri
seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi.
Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau
darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare
disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang
besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada
sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus
yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak
ditemukan leukosit. Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik
dapat dibagi menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan
motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap
meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga
terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi
laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan
transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang
meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri
misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek,
atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga
dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan
mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan
eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti
gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau
akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan
motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada
keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus. Diare dapat terjadi akibat
lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme
yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi
bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan
terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau
adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya
diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel
dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin
atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme
tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan
antara struktur polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik
pada permukaan sel epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut
juga sebagai colonization factor antigen (CFA) yang lebih sering
ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic
E.coli (EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF),
menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur
sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif
tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga
like toksin. Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang
terlihat pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
Invasi
Kuman Shigella
melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di dalam sel
terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi
intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi
inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti leukotrien,
interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga
memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini
akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan
gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang
dihasilkan oleh Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain
yang menghasilkan sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup
0157 yang dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik,
kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera
toxin (CT) yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel
usus halus. Toksin kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit
A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP
intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus
serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus. ETEC
menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama dengan
CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural
yang melibatkan reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron
kolinergik di pleksus mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori
VIPergik. Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian
melibatkan refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron
sensorik aferen kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron
sekretorik tipe 1 VI Pergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok
seperti 5-HT, neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan
penggunaan obat antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat
antisekretorik pada enterosit.
DIAGNOSIS
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri
diperlukan pemeriksaan yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu
ditanyakan riwayat penyakit, latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat
pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Manifestasi Klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan
muntah-muntah dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau
kejang perut. Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis
yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus,
berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol,
turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini
disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas,
perbandingan bikarbonas berkurang, yang mengakibatkan penurunan pH darah.
Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih
cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk
mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan
asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah,
pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada
hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi
yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah,
muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena
kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan
menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini
tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut,
yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan
asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian
darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi
ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima
rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka
diare infeksi dimulai dari pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya
tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi
kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel
harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi
patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi
dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk
inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein bersalut
besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi
kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi,
laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang
tersedia secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 %
terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp,
yang dideteksi dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka
atau menderita diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test
lekosit feses atau latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare
berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1
Pasien dengan diare berat, demam,
nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus diperiksa kimia darah, natrium,
kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah dan pemeriksaan darah
lengkap5,8,10,14
Pemeriksaan radiologis seperti
sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak membantu untuk evaluasi
diare akut infeksi.
Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri
a. Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus
disebabkan asupan makanan yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat
pada makanan yang tidak tepat cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus
stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam
setelah asupan makanan terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual,
muntah, dan nyeri abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam
sangat jarang terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih
tidak terdapat pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24
jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S.
aureus dari makanan yang terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan
antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik dalam mengeradikasi stafilokokus dari
makanan yang ditelan.
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip,
aerobik, membentuk spora. Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala
muntah dan diare, dengan gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam
setelah asupan makanan terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang
dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali
berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah
jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang
gram positip, anaerob, membentuk spora. Bakteri ini sering menyebabkan
keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala
berlangsung setelah 8 – 24 jam setelah asupan produk-produk daging yang
terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual,
dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan
makanan dengan isolasi lebih dari 105 organisme per gram makanan,
menegakkan diagnosa keracunan makanan C perfringens . Pulasan cairan
fekal menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium
lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Vibrio
cholerae
V cholerae adalah
bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan menyebabkan diare yang
menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah 3 – 4 jam pada
pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi transport cairan
pada usus halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi
cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air yang terkontaminasi.
Gejala
awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi diare berat,
diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume darah.
Demam ringan dapat terjadi.
Kimia
darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera digantikan yang
sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan, dan
penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan V.cholerae.
Target
utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif. Kebanyakan
kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan cairan
intravena.
Antibiotik
dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500 mg tiga
kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal,
merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan
menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral memberikan
efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.
Escherichia coli patogen
E. coli patogen adalah penyebab utama diare
pada pelancong. Mekanisme
patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen penting, yaitu :
1 Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2 Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3 Enteroadherent E. coli (EAEC).
4 Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan
pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala ringan yang terdiri dari
diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang terjadi, dimana pasien
melakukan BAB lima
kali atau kurang dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari.
Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang
terdapat sel darah merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang
terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self limited, dengan
tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan
laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses jarang
ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat
diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe
O157.
Terapi
dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada penyakit yang
parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon
yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan
mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare yang berhubungan
dengan EHEC.
b. Infeksi
Invasif
Shigella
Shigella adalah
penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Organisme Shigella menyebabkan
disentri basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui
enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara
klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam,
BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri
abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari
kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus
yang lebih parah menetap selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis dapat
menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi
ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala pernapasan,
gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome.
Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak
terjadinya disentri.
Pulasan
cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur feses
dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi
dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung dari
keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan
untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole
atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang
dianjurkan.
Salmonella
nontyphoid
Salmonella nontipoid
adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika Serikat. Salmonella
enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan penyebab. Awal
penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual,
muntah, dan kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya
berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan
kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih. Kultur darah positip
pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi HIV.
Terapi
pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan
resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis,
usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau
gejala sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah
trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau
norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari atau Sephalosporin generasi
ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi oral.
Salmonella
typhi
Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi adalah penyebab demam tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan
dengan demam panjang, splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi
sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan
memberikan gejala primer yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal.
Sumber organisme ini biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah
bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial, menyebabkan
hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus
halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus
halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk
klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari. Minggu pertama
terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan
temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal. Pada minggu
kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan
kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada minggu
ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada
minggu ke empat terjadi perbaikan klinis.
Diagnosa
ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90% pasien pada minggu pertama
timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu
penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu
dapat menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari
selama 2 minggu. Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering
kambuh dan karier disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon.
Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan efikasi sangat baik melawan S. Thypi
dan harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg
2 kali sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi dan status
karier yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi)
direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C.
Jejuni dan C. Fetus, sering ditemukan pada pasien immunocompromised..
Patogenesis dari penyakit toksin dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter
sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi
selama 24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90%
pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang
mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa berlangsungnya
penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan
sel darah merah. Kultur feses dapat ditemukan adanya Kampilobakter.
Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan quinolon, namun pemakaian
antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat
atau pasien yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik
diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari cukup
efektif. Seperti penyakit diare lainnya, penggantian cairan dan elektrolit
merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah
dihubungkan dengan mewabahnya gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V.
kolera dan V. mimikus telah dihubungkan dengan konsumsi kerang
mentah. Diare terjadi individual, berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan
dengan membuat kultur feses yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi
elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit.
Namun pasien dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan
tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah
kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai dengan antigen somatik (O) dan
flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel usus. Yersinia menghasilkan
enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan
daerah yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan
klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat diikuti dengan
artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses berdarah
dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi
pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh
sendiri berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik
tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau
bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi
empirik pada sepsis.
Enterohemoragik
E Coli (Subtipe 0157)
EHEC
telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi akibat makanan yang
terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah asupan makanan atau
air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab utama diare infeksius.
Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan perkembangan Hemolytic Uremic
Syndrom (HUS). Centers for Disease Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli
0157 dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif
tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis
mikroangiopatik, dan kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare
sedang hingga berat (hingga 10-12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah
tetapi berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang biasa
terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati
distensi abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada
1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di rumah sakit. Lekositosis
sering terjadi. Urinalisa menunjukkan hematuria atau proteinuria atau timbulnya
lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%),
trombositopenia (<150 x 109/L), dan insufiensi renal (BUN >20
mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di
diagnosa 6 hari setelah terkena diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada
anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik
juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan
meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan
mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura dapat
terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan
kultur feses E. coli. Serotipe biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan
mengatasi komplikasi ginjal dan vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam
mengurangi gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa
studi yang menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan
antibiotik dan anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki gejala
klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.
Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram
negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas menghasilkan beberapa toksin,
termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan.
Kadang-kadang feses berdarah. Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa
ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada
pasien dengan diare panjang atau kondisi yang berhubungan dengan peningkatan
resiko septikemia, termasuk malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised.
Pilihan antibiotik adalah trimetroprim sulfametoksazole.
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif,
anaerobik fakultatif. Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah
atau air tanpa olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah
nyeri abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14
hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya
diare. Pilihan antibiotik adalah tritoprim sulfametoksazole.
PENATALAKSANAAN
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare
adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama
episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada
semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang
memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.17 Idealnya,
cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g
Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. 2,4
Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah
disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak
ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok
teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air.
Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan
untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin
sejak mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena
diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer
harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah.
Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda
vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian
harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah
cairan yang keluar dari badan.
Metode Pierce
berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan
cairan 10% X KgBB
Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter
Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan
cairan:18
Cara I :
- Jika ada rasa haus dan tidak
ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka kehilangan cairan kira-kira 2%
dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering,
oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat badan saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas
disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan mental seperti bingung atau
delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 – 7 liter pada
orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita
dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada fase akut sama
dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus :
Na2 X BW2 = Na1 X BW1,
dimana :
Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW1
= Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan
50% untuk wanita ; Na2 = Kadar natrium plasma sekarang ; BW2 =
volume air badan sekarang
B. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang
diindikasikan pada diare akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh
kurang dari 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan
pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses
berdarah, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan,
persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan
pasien immunocompromised.
C. Obat anti diare
Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas racecadotril yang
bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga
enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan
menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama hidrasec
sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula digunakan
lebih aman pada anak.
Kelompok
opiat
Dalam kelompok
ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat dan
atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari, loperamid
2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek kelompok obat
tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga
dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare. Bila
diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi
frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom
disentri obat ini tidak dianjurkan.10
Kelompok
absorbent
Arang aktif,
attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan
atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau
toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak
langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat
Hidrofilik
Ekstrak
tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya
(Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat
membentuk kolloid dengan cairan
dalam lumen usus
dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat
mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x
sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.
Probiotik
Kelompok probiotik
yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces
boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor
saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan
diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.
KOMPLIKASI
Kehilangan
cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama pada usia
lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan cairan secara
mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan elektrolit
melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolic.
Pada
kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok hipovolemik
yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular Nekrosis
Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga
tidak tecapai rehidrasi yang optimal.
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan terbanyak oleh
EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah
infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik
untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom
Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah merupakan
komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah infeksi C.
jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita
kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot
pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre tetap
belum diketahui.
Artritis
pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena Campylobakter,
Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.
PROGNOSIS
Dengan
penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat
baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut
usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0
%. Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan
dengan sindrom uremik hemolitik.1
PENCEGAHAN
Karena
penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat dicegah
dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci tangan
setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus
diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran
manusia.
Karena makanan dan air merupakan
penularan yang utama, ini harus diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang
digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk memasak
harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang dahulu beberapa
menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus
diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus
dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih (air rebusan, saringan, atau
olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan yang tidak diolah tidak
dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran. Semua daging dan
makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang
boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang
tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan
terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam
mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat
terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah untuk V. colera, dan demam
tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak
direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan
durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 %
efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga
melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping
yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1
kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan
dua vaksin lainnya.
KESIMPULAN
Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di
negara berkembang maupun negara maju. Sebagian besar bersifat self limiting sehingga
hanya perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila ada tanda dan
gejala diare akut karena infeksi bakteri dapat diberikan terapi antimikrobial
secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi spesifik sesuai
dengan hasil kultur. Pengobatan simtomatik dapat diberikan karena efektif dan
cukup aman bila diberikan sesuai dengan aturan. Prognosis diare akut infeksi
bakteri baik, dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Dengan higiene dan
sanitasi yang baik merupakan pencegahan untuk penularan diare infeksi bakteri.
KEPUSTAKAAN
1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious
Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et al editors. Current Diagnosis
and Treatment in Infectious Disease. New
York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al.
Practice Guidelines for the Management of Infectious Diarrhea. Clinical
Infectious Diseases 2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute
Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current
Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition. New York: Lange Medical Books, 2003. 131 -
50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare.
Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et
al. Guideline for the Management of acute diarrhea in adults. Journal of
Gastroenterology and Hepatology 2002;17: S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of
infectious diarrhoea. Gut 2004; 53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana
M, Subekti D, et al. Antimicrobial
Resistance of Bacterial Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J
Trop Med Hyg 2003; 68(6): 666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi,
Dalam: Waspadji S, Rachman AM, Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta:
Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1996. 451-57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut
akibat infeksi (Infectious Diarrhoea). Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin,
editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan
Beberapa penyakit Tropik Infeksi. Surabaya : Airlangga University
Press, 2002. 34 – 40.
10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang
Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis
and Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta:
Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.
11. Tatalaksana
Penderita Diare. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious
Diarrhea. N Engl J Med
2004;350:1: 38-47.
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi
I, Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2001. Jakarta:
Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2001. 49-56.
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR,
Drew WL, Henry NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in
Infectious Disease, New York:
Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli &
Shigella & Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al,
Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange Medical
Books, 2003. 584 - 66.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy Handbook. 5th
ed. New York:
McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M, Marpaung
B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap
Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan:
Divisi Gastroentero-hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. 67-79.
19. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52:
436-7.
Tags: diare akut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar